Pernah denger yang namanya Danse Macabre ?? Kalau belum pernah denger, kalian termasuk orang-orang yang beruntung. “loh kok”,”kok loh” karena kali ini saya berkesempatan membahas apa yang dimaksud dengan danse macabre. Awalnya saya tau danse macabre itu ketika nonton salah satu episode anime. ‘Black Butler’ namanya ‘Action Demon’ genrenya. Karena menurut saya kata-kata nya keren saya langsung cari di Mr. Google kemudian Mrs. Wiki dan ketemu tuh “DANSE MACABRE”.
WHAT DO YOU KNOW ?
Lukisan tentang tarian kematian dilukis untuk pertama kalinya di sebuah dinding kuburan di Paris pada 1424. Lukisan tersebut berjudul “Cimetiere des Innocents” itu menggambarkan sosok raja, petani, penulis, anak-anak, dan bahkan seorang paus menari-nari dengan sesosok mayat. Setiap orang berubah mewakili suatu dunia di mana setiap orang berdansa melalui kehidupan dan memeluk kematianya sendiri.
Nah, pada 1538 barulah terbit buku bergambar pertama yang mendeskripsikan tentang kematian. Buku itu langsung menjadi best-seller loh !, buku tersebut disusun oleh Hans Holbein the Younger dan dijuduli “The Dance of Death”. Buku tersebut diambil dari potongan-potongan kayu tentang apa yang disebut sebagai danse macabre: suatu tarian simbolis tentang kematian, di mana digambarkan sesosok tengkorak memimpin sekumpulan orang atau tengkorak ke kuburan masing-masing.
Di sana digambarkan bahwa setiap pasangan dansa meninggalkan daging-daging busuknya dan berubah dengan memperlihatkan hiruk pikuk mereka yang kehabisan tenaga dalam genggaman kematian yang dilukiskan sebagai suatu yang alami. *tarik nafas..... Yuk lanjut !
Om Ivan Illich, dalam bab lima di buku Limits to Medicine, mengomentari hal itu sebagai bentuk pemahaman bahwa kematian tidak dipahami sebagai ancaman yang mesti dihadapi orang-orang yang hidup melainkan dimengerti sebagai suatu kejadian pada satu masa tertentu.
Teh Yasmin Ghatta, perempuan berdarah Turki yang menjadi warga negara Prancis, dalam novel mengharukan berjudul “La Nuit les Caligraphes”, menulis “kepergianku tanpa banyak basa-basi, sama seperti hidupku. Tak sedikit pun kematian membuatku takut. Kematian hanya kejam pada mereka yang takut kepadanya.... Kematianku selembut pucuk pandan air yang dicelupkan ke dalam tinta, lebih cepat dari tinta yang diserap kertas.”
Pada halaman yang lain dari buku yang sama, om Ivan Illich menghadirkan sebuah kutipan agak panjang ikhwal kesaksian seseorang terhadap lepasnya ajal dengan cara yang begitu tenang. Begini kesaksian yang di kutip sama si Om: “... Saya memberinya setengah gelas anggur yang paling baik dari yang saya punya. Dia segera menjadi riang dan memutar bola matanya yang cantik ke arah saya, seraya berkata :’Terimakasih untuk kebaikanmu yang terakhir ini. Kalau engkau dapat mencapai umur sepertiku (93 tahun), maka engkau akan tahu bahwa kematian itu menjadi suatu hal yang sama pentingnya dengan tidur setengah jam kemudian dia tertidur untuk selamanya’
Meraka dengan begitu tenang menghadapi ajal, sepertinya tahu bahwa kematian tidak dimengerti sebagai akhir kehidupan, melainkan suatu peristiwa biasa dalam rangkaian busur kehidupan setiap manusia. Orang yang mati dengan demikian melanjutkan kehidupanya di “dunia yang baru”, sebuah kehidupan yang tidak sama dengan akhirat dalam pengertian ajaran agama ibrahimiyah sebagai”periode panjang pembalasan yang tanpa akhir.” ”
Gimana ? lumayankan untuk menambah ilmu pengetahuan kalian.. buat yang mau liat videonya klik tulisanya ya ... Danse Macabre
Tidak ada komentar:
Posting Komentar